Sepatu Dahlan
[No. 291]
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : 369 hlm
Dahlan Iskan bisa dikatakan sebagai sosok menteri di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 yang
paling dikenal oleh rakyat Indonesia. Menteri yang dikenal disiplin dalam tugasnya, temperamental
namun murah senyum ini sering dianggap kontroversial baik dari kiprahnya maupun
keputusan-keputusan yang diambilnya, namun Presiden SBY memujinya sebagai menteri yang cekatan dan responsif.
Disamping itu Dahlan
Iskan juga dikenal sebagai sosok yang bersahaja, dalam menjalankan tugasnya
Dahlan Iskan rela berkeringat ikut naik KRL, menyantap soto di pinggir jalan, menginap di
rumah petani miskin dan tidur terlelap hanya dengan beralas tikar, dan
sebagainya. Dari segi berpakaikan pun ia pun sangat sederhana, sementara
menteri lain mengenakan jas atau batik ia lebih suka mengenakan baju putih lengan panjang yang digulung dan sepatu
kets sebagai alas kakinya kemanapun ia pergi.
Siapa sebenarnya Dahlan Iskan, mengapa ia begitu disiplin,
tidak canggung bergaul dengan rakyat dan selalu menggunakan sepatu kets? Jawabannya mungkin bisa kita peroleh melalui
novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara yang kisahnya terinspirasi dari
masa remaja Dahlan Iskan.
Novel Sepatu Dahlan yang merupakan bagian pertama dari
Trilogi Novel inspirasi Dahlan Iskan ini mengisahkan kehidupan Dahlan Iskan
saat remaja. Melalui novel ini terungkap bahwa Dahlan Iskan dibesarkan dalam
keluarga miskin di desa Kebon Dalem, Magetan, Jawa Tengah yang harus berjuang guna memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya. Namun sedari kecil kedua
orang tuanya selalu menekankan bahwa hidup miskin bukan berarti harus meminta-minta
untuk dikasihani melainkan harus dihadapi dengan bekerjadan berusaha.
Kehidupan mendidik Dahlan kecil dengan keras. Perih karena
rasa lapar tak jarang harus dialaminya, sampai-sampai ia dan adiknya
harus melilitkan sarung di perutnya untuk menahan perih lambungnya
karena lapar. Meskipun hidup dalam kekurangan
keluarganya tetap mengutamakan
pendidikan bagi anak-anaknya. Walau tak memiliki sepatu Dahlan rela
berjalan kaki puluhan kilometer
untuk bersekolah tanpa alas kaki. Perih karena lecet pada kakinya yang
tak
bersepatu tak membuatnya malas bersekolah. Alih-alih malas ia menyimpan
dua impian besar di masa kecilnya yaitu
memiliki sepatu dan sepeda.
Impian itu terus membayangi kehidupan masa kecil hingga remajanya,
ia terus berusaha mengejar impiannya. Walau kehidupannya semakin sulit ditambah
kesedihannya ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya mimpinya memiliki
sepatu dan sepeda tak pernah hilang hingga akhirnya ketika Dahlan telah
berhasil meraih mimpinya itu ia sadar bahwa ada mimpi lain yang harus ia raih,
mimpi besar untuk melawan kemiskinan yang mendera keluargaya yang harus
diikhiarkannya dengan bekerja kerjas.
Dahlan Iskan di Istana Negara
dengan kemeja putih
dan sepatu ketsnya.
Novel ini menginspirasi pembacanya untuk tidak menyerah oleh
keadaan. Kehidupan Dahlan kecil yang serba kekurangan terkisahkan dengan sangat
baik sehingga menyentuh nurani kita yang
mungkin lebih beruntung dibanding Dahlan kecil. Novel ini juga menyadarkan kita bahwa
kemiskinan bukanlah akhir dari segala-galanya malahan dalam sebuah petuahnya,
ayah Dahlan berkata bahwa “Kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan
mematangkan jiwa”.
Sejarah hidup Dahlan telah membuktikan petuah ayahnya ini,
Dahlan kecil memang terlihat lebih matang dibanding anak seusianya dan
kematangan jiwanya itulah yang juga menghantarnya hingga bisa menjadi
seorang menteri yang disgani. Masa kanak-kanaknya harus dilalui dengan
keras, ketika anak-anak lain beria-ria bermain atau
beristirahat sepulang sekolah, Dahlan harus menyabit rumput, mengangon
domba,
menjadi kuli seset di kebun tebu, dll untuk membantu keluarganya. Walau
hidupnya sulit Dahlan tak lantas kehilangan keceriaannya, novel ini
menceritakan dengan jelas bagaimana anak-anak miskin seperti Dahlan
tetap memiliki
keceriaan masa kanak-kanak dengan caranya sendiri.
Selain menceritakan perjuangan Dahlan mengejar mimpinya
memiliki sepatu, pahitnya kehidupan yang dihadapinya, dan juga persahabatannya
dengan teman-temannya, novel ini juga mengungkap sejarah pembantaian masal di sumusr-sumur tua di Sococ, Cogrok, dan
Dusun Dadapan, Magetan terhadap anggota atau simpatisan PKI
Seluruh kisah Dahlan dan mimpinya dalam novel ini memang patut untuk
diapresiasi dengan baik. Penulis mampu
merangkai sebuah kisah yang menarik dari awal hingga akhir dengan nuansa
sastrawi yang menarik sehinga novel yang diawali
saat Dahlan Iskan hendak dioperasi cangkok liver di tahun 2007 lalu
flash back
ke masa kecil Dahlan ini tak hanya enak dibaca melainkan mampu
melibatkan emosi pembacanya dan menginpirasi pembacanya untuk tidak
menyerah oleh keterbatasan.
Bersyukur walau yang dikisahkan dalam novel ini adalah sosok
seorang tokoh terkenal namun penulis tak terjebak dalam menulis hal-hal yang
baiknya saja. Dahlan dalam novel ini tidak digambarkan sebagai sosok yang
sempurna, sama seperti anak-anak lainnya Dahlan juga dikisahkan melakukan
kenakalan seperti anak-anak lainnya seperti mencuri tebu, mencoba membongkar lemari ayahnya agar bisa
mendapat uang untuk membeli sepatu, memiliki nilai merah di raportnya, dan
sebagainya.
Sepatu yang menjadi impian Dahlan kecil mengikat keseluruhan
kisah dalam novel ini sehingga pembaca dibuat ikut merasakan
bagaimana besarnya keinginan Dahlan untuk memiliki sepatu. Sayangnya
penulis tidak menceritakan seperti yang diungkap Dahlan
Iskan dalam pengantar novel ini, yaitu ketika akhirnya ia berhasil
memiliki sepatu ia
tetap nyeker sambil menenteng sepatu agar sepatunya itu tetap awet.
Tentunya ada banyak sisi-sisi menarik yang bisa digali dan dikisahkan
saat Dahlan untuk pertama kalinya memiliki sepatunya hasil dari jerih
upayanya sendiri.
Terlepas dari hal di atas dengan segala kelebihan dan
kelemahannya novel ini sepatutnya dibaca oleh siapa saja dengan range usia yang
cukup panjang, mulai dari anak remaja hingga para orang tua. Ada banyak nilai-nilai kekeluargaan,
kedisiplinan, ketekunan, perjuangan, persahabatan, plus romansa remaja yang tercemin
dalam kisah Dahlan dan sepatunya ini.
Selain itu melalui novel ini pula kita bisa memahami apa
yang melatari sosok Dahlan Iskan seperti
yang kini dikenal dengan kenyentrikan, kesederhanaan, dan kerja kerasnya.
Seperti apa kata Panda Nababan (Wakil Pemred RCTI) dalam komentarnya di novel
ini :
"Kesederhanaan, rendah hati dan kerja keras yang dibarengi
keteguhan hari, bukanlah sekedar gerbakan. Tapi itu semua adalah bentuk ucapan
syukur Pak Dahlan terhadap apa yang pernah dilaluinya dan sudah dicapai”
Seperti yang sudah diduga karena novel ini hadir di tengah popularitas Dahlan Iskan yang tengah meroket, novel ini segera mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat Indonesia. Terbukti hanya dalam waktu empat hari setelah terbit, novel ini telah terjual sebanyak 12 ribu ekslempar. Semoga dengan semakin banyak orang yang membaca novel ini semakin banyak pula orang yang terinpirasi dari kisah kehidupan Dahlan Iskan.
0 komentar:
Posting Komentar